Belukap Mangrove Club IK UR

Pekanbaru – bmcmangrove.blogspot. Negara kita sudah lama dikenal oleh Negara-negara lain sebagai Negara yang kaya akan hasil kelautannya sehingga Indonesia disebut sebagai Negara maritime dan sebagai Negara kepulauan yang terbesar di dunia. Tiga perempat dari luas Negara Indonesia atau sekitar 75% nya adalah diisi dengan lautan yang diperkirakan luasnya 5,8 Km2 dan mempunyai pulau yang terbanyak di dunia yaitu 17.500 pulau.
Dengan luasnya lautan yang dimiliki oleh Negara Indonesia, banyak sekali rahmat yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada Negara kita berupa kekayaan alam laut dan sumberdaya laut yang tidak ternilai harganya dan jarang kita jumpai di negara lain.
Mengingat besarnya potensi sumberdaya alam laut yang dimiliki Indonesaia, maka seharusnya Indonesia bisa menjadikan kekayaan tersebut sebagai unggulan negaranya. Salah satu contoh kekayaan alam yang dimiliki Indonesia adalah hutan mangrovenya.
Hutan mangrove bisa kita jumpai disekitar pantai atau pesisir laut. Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan di tempat pertemuan antara muara sungai dan air laut.
Sungguh unik sifat yang dimiliki hutan mangrove kalau kita bandingkan dengan tumbuh-tumbuhan lainnya. Salah satunya sifat keunikan mangrove adalah bisa hidup dikisaran salinitas yang tinggi, yang mana banyak spesies tumbuh-tumbuhan tingkat tinggi tidak mampu untuk bertahan hidup di daerah tersebut. Kemudian mangrove juga bisa bertahan di air tawar yang dialirkan oleh sungai di saat pasang sehingga mangrove dikelilingi oleh air garam dan air tawar.
Mangrove adalah salah satu jenis tanaman dikotil yang ada di bumi ini. Kita pasti sudah tahu apa itu tanaman dikotil? Yaitu tumbuhan yang buahnya berbiji berkeping atau berbelah dua. Hutan mangrove ditemukan antara 320 Lintang Utara dan 380 Lintang Selatan atau yang lebih mudah kita pahami yaitu tersebar di sepanjang pantai daerah tropis dan subtropics. Menurut Snedaker (1978), hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah anaerob. Mangrove hidupnya pada temperatur 19°C sampai 40° C dengan toleransi fluktuasi tidak lebih dari 100C di tropis.
Di Indonesia luas hutan mangrovenya sekitar 27% atau sekitar 4,25 juta hektar dari luasan mangrove di dunia. Adapun sebaran hutan mangrove di dunia adalah seluas 15.429.000 hektar, yang mana tersebar di garis pantai Kepulauan Karibia sebesar 25% dan 75% nya tersebar di daerah pantai kawasan Amerika Selatan dan Asia.
Ekosistem hutan mangrove memberikan banyak manfaat baik secara langsung (non economic value) maupun tidak langsung (economic vallues) terhadap kehidupan manusia seperti pelindung garis pantai akbat dari abrasi yang disebabkan oleh pasang surut, tempat tinggal berbagai organisme, tempat pencarian makan, tempat berpijah bagi ikan-ikan dan lain sebagainya. Selain itu, ekosistem mangrove merupakan rantai dari ekosistem lain yang kita jumpai dilaut seperti ekosistem padang lamun dan ekosistem terumbu karang. Hancur atau rusaknya salah satu dari ketiga ekosistem tersebut menyebabkan ekosistem yang lain juga ikut hancur atau rusak dengan kata lain satu hati satu jiwa. Keterkaitan ketiga ekosistem tersebut mempunyai tingkat ketergantungan yang sangat tinggi antara satu dengan yang lainnya bagi biota-biota di sekitarnya.
Kerusakan ekosistem mangrove di Indonesia sekarang ini sudah mencapai 70%. Malahan di beberapa kawasan pesisir Indonesia, kerusakan hutan mangrove sudah sangat parah yaitu mencapai 90%. Hasil penelitian ICoMAR pada tahun 1997 mengenai kondisi hutan mangrove di kawasan Delta Mahakam yang mencapai 150.000 hektar, kini hanya tersisa 15% atau sekitar 2.000 hektar. Di kawasan pantai Utara Jakarta pada tahun 1998 luasan hutan mangrove mencapai 1.200 hektar, namun kini hanya tersisa 27% atau sekitar 372 hektar. Penurunan luasan hutan mangrove pun terjadi di daratan Sumatera seperti Bengkulu (sebesar 35% atau 11.000 hektar), Aceh kerusakan hutan mangrovenya hampir di seluruh kawasan pesisirnya yang mencapai 33.000 hektar dan daerah-daerah lainnya (DKP 2005).
Kita lihat kondisi hutan mangrove di Riau. Pada tahun 1997 luas hutan mangrove di Riau sekitar 234.517 hektar yang mana bisa kita jumpai di Kabupaten Bengkalis sekitar 31.697 hektar dan Indragiri Hilir sekitar 135,99 hektar (Dinas Kehutanan Dati I Riau,1997). Sedangkan di Kota Dumai, luas hutan mangrovenya diperkirakan 5.329,857 hektar pada tahun 2002 yang semulanya pada tahun 1998 seluas 5.883,254 hektar dan tingkat penurunan luas mangrovenya sebesar 553,397 hektar atau sebesar 9,39%.
Ancaman kerusakan yang lebih besar terus meningkat seiring dengan ikut menurunnya kualitas kehidupan masyarakat di kawasan pesisir dan seringnya terjadi bencana. Dimana kerusakan ekosistem mangrove oleh aktivitas manusia berupa reklamasi pantai untuk perluasan pemukiman, industri, bisnis dan perluasan untuk budidaya tambak maupun produksi garam serta penebangan kayu mangrove sebagai bahan baku penyangga bangunan.
Dengan semakin rusaknya ekosistem mangrove tersebut menyebabkan terganggunya fungsi ekologis dari ekosistem mangrove. Di Kota Dumai misalnya hasil produksi kayu bakau mengalami peningkatan dari 1.883,58 m3 pada tahun 1999 meningkat menjadi 192.295,00 m3 pada tahun 2001 (Badan Pusat Statistik, 2001). Hal ini menggambarkan telah terjadi eksploitasi besar-besaran terhadap ekosistem mangrove di Kota Dumai yang berdampak terhadap pemanasan global contohnya.
Indonesia sebagai pemilik salah satu hutan tropis terbesar di dunia ternyata memiliki andil yang cukup besar terhadap pembuangan emisi gas rumah kaca (GRK) yakni melalui penebangan dan kebakaran hutan seperti hutan mangrove. Sejumlah 20% nya adalah sumbangan untuk Gas Rumah Kaca dari total emisi gas secara global sehingga penyebab terjadinya pemanasan global dikarenakan meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir.
Pemanasan global yang menjadi isu-isu yang menakutkan bagi kita semua disaat sekarang ini terjadi karena peningkatan suhu permukaan bumi. Pemanasan global dapat diartikan secara sederhana, yakni panas yang diserap hanya sebagian dan memantulkan kembali sisanya ke bumi. Sebagian dari panas ini mengandung radiasi infra merah gelombang panjang ke luar angkasa. Namun, sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca. Gas-gas tersebut menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan bumi, akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan bumi. Hal tersebut terjadi berulang-ulang dan mengakibatkan suhu rata rata tahunan bumi terus meningkat. Jika konsentrasi gas-gas tersebut terus meningkat di atmosfer, maka akan semakin banyak panas yang terpantul ke bumi.
Sebagaimana yang saya baca dari salah satu media visual menyatakan bahwa “suhu rata-rata global pada permukaan bumi telah meningkat sekitar 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir dan ini diperkuat dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang menyimpulkan sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global terjadi sejak pertengahan abad ke-20”.
Mungkin kita masih ingat akan event besar pada tahun 2007 yang merupakan suatu niat untuk membahas perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global yang diberi nama UNFCCC (United Nation of Framework Convention on Climate Change). Dalam konferensi tingkat dunia yang dilaksanakan di Bali tersebut, menempatkan hutan mangrove salah satu faktor yang dapat memberikan kontribusi dalam menekan perubahan iklim. Kaitannya dengan perubahan iklim adalah keberadaan hutan mangrove sebagai penyerap panas (gas karbondioksida). Salah satu gagasan utama yang dibahas dalam konferensi Bali adalah melalui mekanisme perdagangan karbon. Mekanisme perdagangan karbon yang dicanangkan dunia dengan istilah Reduction Emission of Deforestation (RED) oleh Indonesia di tegaskan kembali menjadi Reduction Emission of Deforestation and Degradation in Indonesia (REDDI) di tujukan kepada negara-negara penyumbang terbesar emisi gas karbon seperti Amerika Serikat dan juga kepada Negara-negara pemilik hutan tropis yang mampu menyerap karbon di udara

Menurut White dalam Naamin (1990) ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem wilayah pesisir yang subur dengan produktivitas tinggi yang mana produktivitas primer ekosistem mangrove bisa menyumbang sekitar 400 sampai 5000 g karbon/m2/tahun. Keeley (2007) menambahkan manfaaat yang diberikan oleh rawa mangrove yaitu menyumbang 24% dari 6,4% yang menyelimuti bumi untuk produktivitas global dapat menyerap karbon dalam jumlah besar dan mengubahnya menjadi makanan bagi hewan lain. Kemudian diperkuat lagi oleh data Departemen Kelautan dan Perikanan dalam Suryandari (2008) bahwasannya mangrove dengan luasan 93 ribu Km2 memiliki daya serap karbon sejumlah 75,4 juta ton per tahun atau dengan kata lain 1 hektar luasan mangrove mampu menyerap 8,11 ton karbon per tahunnya.
Menjaga hutan berarti melindungi kehidupan di muka bumi karena apabila hutan (mangrove misalnya) rusak, maka banyak jasa lingkungan yang hilang akibat kerusakan tersebut. Namun, ada ataupun tidak adanya perdagangan karbon kita wajib untuk menjaga kelestarian hutan khususnya hutan mangrove. Apalagi kelestarian hutan mangrove sangat tergantung pada tangan masyarakat pesisir yang sering memanfaatkan hutan mangrove dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini dikarenakan merekalah ujung tombaknya dalam keberlangsungan ekosistem hutan mangrove kedepannya.
0 Responses

Posting Komentar