Lagi-lagi Berita Sedih, Kerusakan Ekosistem Mangrove Di Segara Anakan
Luas hutan mangrove Segara Anakan terus berkurang. Pada saat ini luasnya diperkirakan tinggal 1.800 ha (Republika, 24/03/2001) atau bahkan tinggal 1.125 ha (Pikiran Rakyat, 1/5/2002), sedangkan pada tahun 1942 masih 22.512 ha (Suara Pembaruan, 25/8/2002). Di sisi lain luas laguna Segara Anakan juga terus menyusut. Pada tahun 1903 luasnya 6.450 ha dan pada tahun 2000 diperkirakan luasnya tinggal 600 ha (ECI, 1994). Citra satelit pada bulan September 2002 menunjukkan luasnya tinggal 550 ha (Kompas, 21/12/2002). Sedimentasi tidak hanya mempersempit luas laguna namun juga membuatnya dangkal, pada tahun 1903 kedalaman laguna mencapai 30-40 m, namun pada tahun 2002 umumnya tinggal 0,5-1 m (Pikiran Rakyat, 7/11/2002; Suara Pembaruan, 9/4/2002).
Sedimentasi merupakan masalah utama yang mengancam kelestarian laguna dan hutan mangrove Segara Anakan. Di samping itu, terdapat pula ancaman lain seperti penebangan hutan, pertambakan dan berkembangnya desa-desa yang membutuhkan sarana dan prasarana kehidupan (Dudley, 2000), hingga muncul usulan untuk membatasi jumlah penduduk Segara Anakan (Suara Merdeka, 4/7/2001). Jumlah ideal penduduk pada kawasan pemukiman berkisar 80-150 jiwa/ha (Suara Merdeka, 26/5/2001).
Sedimentasi merupakan syarat utama terbentuknya ekosistem mangrove, di samping perlindungan dari ombak, masukan air tawar, aliran air pasang surut dan suhu yang hangat (Walsh, 1974). Namun, sedimentasi di Segara Anakan secara serius mengancam eksistensi kawasan mangrove. Sifat lagunanya yang tertutup, dimana muara sungai tidak langsung terhubung dengan laut bebas, menyebabkan sejumlah sedimen skala besar didepositkan dalam laguna. Sungai Citanduy membawa sejumlah besar lumpur erosi dari daerah hulu dan diendapkan di dalam laguna (Wirjodarmodjo dkk., 1978).
Setiap tahun Sungai Citanduy dan Cimeneng/Cikonde masing-masing mengangkut 5 juta m3 dan 770.000 m3 sedimen, dimana 740.000 m3 dan 260.000 m3 di antaranya diendapkan di Segara Anakan (ECI, 1994). Pelumpuran ini menyebabkan menjoroknya daratan antara 17-30 m per tahun. Tanpa upaya yang berarti untuk mengatasinya, dalam jangka panjang ekosistem mangrove akan berubah menjadi ekosistem daratan, dengan jenis komponen biotik (flora dan fauna) yang berbeda (Tjitrosoepomo, 1981). Sehingga tidak hanya mempengaruhi komunitas alami dan habitatnya, namun juga mempengaruhi kultur masyarakat Kampung Laut (Hardoyo, 1982). Hal ini sudah terbukti dengan perubahan konstruksi rumah penduduk, dimana rumah-rumah penduduk yang sebagian besar nelayan semula merupakan rumah panggung di atas permukaan laut, namun kini sebagian besar sudah berubah menjadi rumah tembok di daratan (Pikiran Rakyat, 22/1/2001).
Sedimentasi menyebabkan berbagai permasalahan, seperti turunnya pendapatan nelayan yang merupakan pekerjaan sebagian besar penduduk (70-87,5%, tahun 1987), diubahnya area mangrove menjadi areal pertanian, munculnya konflik kepentingan antara penduduk setempat dengan Perhutani mengenai penggunaan tanah timbul dan terancamnya Segara Anakan sebagai tempat pembibitan perikanan lepas pantai (Brotosusilo, 1988; Budihardjo, 1988). Bertambahnya daratan juga menimbulkan sengketa antara Perhutani yang ingin mempertahankannya sebagai hutan dan pemerintah daerah yang ingin mengubahnya menjadi lahan budidaya (Yudho, 1988).
Perubahan ekosistem perairan menjadi daratan mendorong penduduk untuk mengubah mata pencaharian dari nelayan menjadi petani (Brotosusilo, 1988), termasuk merambah hutan untuk mengambil kayu dan dijual sebagai kayu bakar atau arang. Meskipun mereka menyadari hal ini akan menurunkan produktivitas ikan dan udang (Republika, 24/03/2001). Pada tahun 2002 saja, untuk merestorasi hutan mangrove seluas 202,5 ha yang rusak akibat penebangan dan pertambakan serta memelihara 700 ha hutan yang terancam rusak, diperlukan 470.575 berbagai jenis bibit mangrove (Pikiran Rakyat, 3/8/2002). Pada masa lalu banyak digunakan Bruguiera gymnorrhiza dan Rhizophora mucronata sebagai pohon penghijauan (Haditenojo dan Abbas, 1982; Moeljono, 1982).
Kebanyakan peneliti meyakini adanya hubungan positif antara besarnya hasil tangkapan ikan, udang dan biota laut komersial lainnya dengan kondisi ekosistem mangrove di wilayah pesisir, dimana semakin luas hutan mangrove maka semakin banyak udang yang tertangkap (Kompas, 18/4/2002; Sukartika, 1980). Hal ini dikarenakan ekosistem mangrove dapat menangkap bahan organik sehingga memiliki produktivitas tinggi sebagai sumber pakan ikan, perairan mangrove yang keruh dapat menurunkan jarak pandang predator serta keanekaragaman struktur dan relung habitat mangrove menyediakan ruang yang luas untuk beragam spesies.
Jumlah hasil tangkapan perikanan komersial juga sangat dipengaruhi oleh kondisi geografi lokasi penangkapan, luas penutupan mangrove, luas wilayah pesisir, panjang garis pantai, luas area pasang surut, karakter sungai dan masukan bahan organik (Haroen, 2002). Kerusakan hutan mangrove menyebabkan merosotnya nilai potensi ekonomi Segara Anakan, karena berkurangnya tempat pemijahan udang, ikan dan biota lain yang bernilai ekonomi tinggi. Nilai total ekonomi ekosistem mangrove Segara Anakan sebesar Rp. 140.880.427.700 per tahun atau Rp. 8.188.980 per hektar per tahun, dimana sebagian besar berupa sumberdaya alam perairan (Paryono dkk., 1999).
Penelitian pada tahun 1999-2000 menunjukkan 8% ikan dan 34% udang yang ditangkap nelayan di perairan pantai Cilacap dan Ciamis menetas dan dibesarkan di Segara Anakan, angka ini senilai Rp. 62 milyar per tahun (Dudley, 2000). Rusaknya lingkungan di Segara Anakan mengancam nasib sekitar 22.000 nelayan (Pikiran Rakyat, 1/5/2002).
Sedimentasi tidak hanya menimbulkan kerugian material namun juga menyebabkan kematian akibat bencana banjir (Kompas, 30/10/2001). Faktor utama penyebab banjir adalah melimpahnya curah hujan, hingga tidak dapat diserap tanah dan tidak dapat ditampung sungai-sungai (Buana Katulistiwa, 2002).
Sedimentasi menyebabkan laguna Segara Anakan menyempit, dangkal, dan menaikkan dasar sungai terutama di kawasan muara, sehingga daya tampungnya berkurang. Akibatnya dataran di sepanjang tepian sungai-sungai yang bermuara di Segara Anakan menjadi langganan bajir rutin setiap musim hujan (Suara Pembaruan, 26/5/2002; Mitra Bisnis, 11/2001; Kompas, 30/10/2001).
Kepadatan penduduk di daerah aliran sungai (DAS) menyebabkan besarnya permintaan akan sumberdaya, sehingga ekosistem alami diubah menjadi lahan pemukiman, pertanian, usaha, jalan dan lain-lain. Akibatnya terjadi penurunan kemampuan tanah dalam menyerap air. Kegiatan yang paling serius menyebabkan terjadinya banjir adalah penggundulan hutan, baik oleh pencuri kayu dan perambah hutan ataupun oleh aparat Perhutani dengan dalih penjarangan tanaman. Hal ini terbukti pada kasus banjir besar pada bulan Oktober 2000 di Cilacap (Buana Katulistiwa, 2002; Kompas, 21/03/01). Penyudetan sungai Citanduy dan Cimeneng/Cikonde diperkirakan dapat mengurangi banjir di Kecamatan Kawunganten, Sidareja dan Patimuan Kabupaten Cilacap, serta di Kecamatan Kalipucang, Padaherang dan Lakbok Kabupaten Ciamis (Suara Pembaruan, 6/7/2002; 26/5/2002; Mitra Bisnis, 11/2001).
Hijau Pesisirku!
Posting Komentar