Belukap Mangrove Club IK UR

Cerdas, Merubah Kebun Kelapa Menjadi Hutan Mangrove

Khasanah Seorang Mangrover Desa Sungai Asam Kecamatan Reteh Kabupaten Indragiri Hilir Propinsi Riau 
Pekanbaru – bmcmangrove.blogspot. Biru Lautku! Abbas H. Usman, seorang pria kelahiran Sungai Terap 15 September 1969 adalah sosok seorang pengusaha kopra. Bersama isteri dan 3 anaknya, mereka tinggal di Desa Sungai Asam, Kecamatan Reteh. Untuk mencapai tempat tinggalnya, diperlukan waktu perjalanan selama 3 jam melalui sungai, sebelumnya harus menyeberang laut dan menyusuri sungai lagi. Berbekal pendidikan SMA Jurusan Biologi, yang kemudian mengelola kebun kelapa dari orang tuanya, secara sosial Abbas cukup disegani di desanya dan secara ekonomi kehidupannya termasuk mapan.
Pikirannya terusik ketika ia merasakan penurunan hasil kebunnya yang terus berlanjut sampai akhirnya pohon-pohon kelapa di kebunnya tidak berbuah lagi. Belakangan, ia mengetahui bahwa penyebabnya adalah lahan kebunnya semakin lama semakin kritis karena mengalami abrasi akibat tidak adanya penghalang ombak yang menerjang pantai. Hal inilah yang kemudian menumbuhkan kesadaran dan motivasinya untuk menanam kembali mangrove di lahan miliknya.
Ternyata merubah kebun kelapa menjadi hutan mangrove tidak mudah, untuk membersihkan lahan dari batang pohon kelapa dan sampah lainnya ternyata memerlukan perjuangan yang tidak ringan. Perjuangan berat lainnya adalah mencari bibit mangrove. Untuk itu ia harus melakukan perjalanan laut selama 8 jam sebelum sampai di Pulau Kuindra tempat bibit mangrove bisa didapat.
Sambil bertanya dan belajar ke sana ke mari tentang mangrove dengan dibantu keluarganya, mulailah Abbas menanam benih mangrove di lahannya. Masyarakat sekitarnya menanggapi kegiatan Abbas ini dengan sinis. Bahkan beberapa diantaranya mengatakan kurang waras. Abbas bukannya tidak tahu situasi ini, tetapi dengan sabar ia terus menanam sejak tahun 2000.
Sekarang, lahan kritis 80 hektar miliknya telah berubah menjadi hutan mangrove hijau yang tumbuh perkasa dan asri. Sejalan dengan waktu penanamannya, tinggi tajuk mangrove bervariasi antara 1-8 meter. Untuk semua itu, Abbas telah menghabiskan 200 juta rupiah uang pribadinya dan telah membebaskan 300 hektar lahan yang merupakan hibah dari tokoh masyarakat setempat untuk ditanami mangrove.
Kerimbuhan hutan mangrove kemudian mengundang kedatangan satwa untuk berlindung, mencari makan dan berkembang biak; mulai dari kepiting raksasa, udang, kerang, ikan, biawak, buaya, tawon sengat, monyet, burung bangau dan lain sebagainya. Selain itu, hutan mangrove ini juga nyaman bagi koloni lebah madu.
Dan di saat itulah masyarakat menyadari bahwa mangrove ternyata bermanfaat menahan abrasi ombak. Kesadaran ini sangat menguntungkan bagi Abbas karena menjadi lebih mudah untuk meyakinkan mereka melakukan hal serupa. Karena itu, dalam waktu relatif singkat banyak anggota masyarakat ikut menanam mangrove di lokasi lain dengan tujuan untuk menahan abrasi.
Di balik sosoknya yang sederhana, ternyata Abbas mempunyai konsep dalam rehabilitasi pantai. Beliau menganggap bahwa menanam mangrove tidak hanya sebagai penangkal abrasi, melainkan juga untuk konservasi, ilmu pengetahuan, sosial-budaya dan peningkatan pendapatan masyarakat.
Dalam penerapannya, ternyata Abbas telah menggunakan metode canggih layaknya ilmuwan. Mangrove sengaja ditanam rapat karena yang diutamakan adalah pengangkatan struktur tanah yang rusak melalui akar. Setelah mencapai ketinggian tertentu, baru dilakukan penjarangan. Memadukan praktek penanaman mangrove dengan konsep peneliti Jepang, yaitu CDM (Clean Development Mechanism), yang artinya Abbas telah memiliki wawasan global dan dapat dikembangkan di masa depan menuju era perdagangan karbon. Penghutanan pantai dengan mangrove ini juga dimaksudkan Abas sebagai upaya untuk memantapkan hutan menjadi hutan homogin.
Menurut Abbas, beberapa bagian dari konsepnya telah memenuhi harapan. Misalnya untuk konservasi, kerusakan lahan hampir teratasi dengan mulai terangkatnya struktur tanah akibat akar mangrove. Di bidang sosial budaya, telah terjadi perubahan paradigma masyarakat desa untuk saling asih-asah-asuh melalui forum yang mereka beri nama Wahana Bakau Lestari. Dengan datangnya beberapa peneliti lokal dan luar negeri yang meneliti kemampuan mangrove menghisap racun karbon dianggap Abbas sejalan dengan konsep pengetahuan. Sementara itu, kemampuan perekonomian masyarakat telah meningkat melalui pemanfaatan potensi yang ada di hutan mangrove, Bahkan hasil tangkapan ikan masyarakat telah dikirim ke Jambi dan sebagian menembus pasar ekspor Singapura.

Hijau Pesisirku!
Dikutip dari Fury Rabu, 24 Februari 2010



0 Responses

Posting Komentar